Catatan Penyertaan Modal Negara BUMN

Catatan Penyertaan Modal Negara BUMN
image_pdfimage_print

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005, Penyertaan Modal Negara (PMN) merupakan proses pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada badan Usaha Milik Negara dan Perseroan terbatas menjelaskan sumber Penyertaan Modal Negara yaitu dari : APBN, Kapitalisasi Cadangan, dan/atau Sumber lainnya.

Penyaluran PMN dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti aset, tunai, ataupun hak negara yang dapat dinilai dengan uang. Beberapa tahun terakhir, pemerintah memberikan PMN dalam jumlah besar ini yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan investasi pemerintah dalam mencapai beberapa proyek strategis nasional. PMN juga dapat memberikan efek pengganda atau multiplier effect dalam perekonomian. Dalam hal ini BUMN diharapkan mampu memaksimalkan perannya sebagai ‘agent of development’ yang berperan aktif dalam mendukung program nasional.

Selanjutnya pemberian PMN kepada BUMN umumnya dilakukan dalam rangka meningkatkan kapasitas usaha pada BUMN tersebut dan juga membantu memperbaiki struktur permodalan BUMN. Penyertaan Modal Negara ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusi BUMN dalam mendukung program Nawacita yang merupakan program prioritas nasional, antara lain seperti mendukung kedaulatan pangan, pembangunan maritim, infrastruktur, industri , konduktivitas, pertahanan dan keamanan, dan juga kemandirian ekonomi nasional.

Alur mekanisme penyaluran PMN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Tata Cara-Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara-BUMN sebagai berikut:

  1. Penyertaan Modal Negara atau PMN mulanya diusulkan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden disertai dasar pertimbangan pemberian PMN tersebut setelah dikaji bersama dengan Menteri dan Menteri Teknis.
  2. Rencana PMN dapat dilakukan berdasarkan inisiatif Menteri keuangan, Menteri, dan/atau Menteri Teknis.
  3. Pengkajian bersama antara Menteri Keuangan, Menteri, dan Menteri Teknis, dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan.
  4. Pengkajian dapat juga mengikutsertakan menteri lain ataupun pimpinan instansi lain yang dianggap perlu atau bisa juga menggunakan konsultan independen.

Terdapat banyak pihak yang terlibat dalam mekanisme Penyertaan modal negara dari perencanaan hingga PMN dapat diterima oleh BUMN (Bakroh, 2020). Pihak-pihak tersebut antara lain :

  1. Pada tahap perencanaan PMN, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) mengkaji usulan PMN, melakukan pembahasan dengan BUMN atas usulan PMN, menyampaikan kajian kepada Menteri Keuangan, mengusulkan kepada DJA untuk mengalokasikan PMN, melakukan pembahasan dengan DPR RI. Kemudian BUMN melakukan pembahasan dengan DJKN atas usulan PMN yang diajukan.
  2. Pada tahap pelaksanaan PMN, DJKN: menerbitkan DIPA, SPM/SP2D, mencairkan anggaran ke rekening perusahaan, dan menyusun laporan pertanggungjawaban. Berperan sebagai RUPS, memberikan arahan atau policy bagi perusahaan, memberikan guideline bagi BUMN atau lembaga, pengawasan, dan membangun Good Corporate Governance. Pun dalam proses yang dilaksanakan DJKN berperan aktif dalam melakukan kajian, memberi persetujuan, dan melakukan pengawasan.
  3. Pada tahap pelaporan, BUMN membuat laporan investasi pemerintah berupa PMN yang diterimanya pada tahun berjalan, dan kemudian disetorkan ke DJKN. Selanjutnya DJKN sebagai datacenter investasi pemerintah menatausahakan dan melaporkan apa yang diterima dari BUMN melalui SAIP, menyusun laporan Investasi Pemerintah untuk kemudian diapresiasi oleh BPK untuk mendapatkan opini.

Pengukuran manfaat Investasi Pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara pada PT PLN bertujuan untuk mengetahui apakah suatu proyek yang didanai melalui PMN tersebut mampu memberikan manfaat bagi organisasi, pemerintah, dan masyarakat entah itu manfaat yang bersifat tangible maupun intangible dengan biaya yang sudah dikeluarkan oleh organisasi (Yulia, 2005).

Manfaat Berwujud atau Tangible Benefit merupakan Manfaat Berwujud dari investasi pemerintah yang diperoleh melalui penghematan biaya akibat adanya investasi tersebut. Analisis manfaat berwujud dilakukan dengan empat metode pendekatan, yaitu cost displacement, cost avoidance, decision analysis dan impact analysis. Terdapat beberapa metode yang bisa digunakan dalam melakukan pengukuran kelayakan investasi, diantaranya cost and benefit analysis (Miswanto et al, 2020).

Pendekatan Metode Cost and Benefit analysis hanya dapat mengukur manfaat ekonomi ataupun finansial dari sebuah investasi. Terkait investasi pemerintah tak hanya berbicara soal manfaat ekonomi, namun juga manfaat sosial. Manfaat sosial dapat diukur dengan metode Kajian ekonometrika yang membahas pengukuran hubungan ekonomi, teori ekonomi, matematika, dan statistika dalam satu kesatuan sistem yang berdiri sendiri dengan kuat. Ekonometrika sendiri digunakan untuk analisis ekonomi terhadap variabel ekonomi dan data empiris (Aziz, 2007).

Penyertaan Modal Negara kepada PT. PLN yang telah dimulai sejak tahun 1994. Dana PMN yang diberikan dapat digunakan untuk menambah modal perusahaan yang dapat berupa aset, mesin, dan juga modal-modal lainnya (Kali, 2012). Pemberian PMN juga dapat pergunakan untuk program khusus yang menjadi prioritas pembangunan nasional.

Dalam rangka hal tersebut maka Investasi Pemerintah dalam bentuk PMN pada PT. PLN digunakan untuk pengembangan program listrik desa. Secara tidak langsung program listrik desa dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan. Kondisi karakteristik, dan juga lokasi daerah pedesaan membuat timbul rasa kewajiban berbagai pihak untuk turut campur berpartisipasi pada program pembangunan listrik desa.

Lembaga yang ditunjuk secara langsung untuk menjalankan program ini tidak lain adalah PT PLN (Kali, 2012). Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Tahun 2018-2027, pembangunan listrik desa merupakan program pemerintah dalam upaya memberikan fasilitas listrik kepada masyarakat pedesaan yang pendanaannya diperoleh dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dan ditambahkan dengan Alokasi Pinjaman Lur Negeri (APLN).

Pemerintah dan PT PLN berupaya untuk mencapai rasio elektrifikasi desa berlistrik 100%. Pembangunan listrik desa ini memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Memberikan fasilitas listrik terhadap desa lama yang terdapat dusun belum berlistrik dan juga desa baru yang belum berlistrik; 2. Memperluas jaringan distribusi dari sistem listrik yang ada (existing) yang berdekatan disertai dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik; 3. Pengembangan pembangkit yang menggunakan tenaga BBM untuk pedesaan yang lebih berkembang namun tidak dimungkinkan dilakukan penyambungan dari ekspansi grid sistem terdekat untuk saat ini dan juga pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) belum memungkinkan dalam waktu dekat

Untuk mencapai target tersebut, PT. PLN kemudian menggunakan tolok ukur rasio elektrifikasi sebagai dasar penentuan besaran PMN yang dialokasikan kepada Kantor PLN regional. Apabila rasio elektrifikasi tersebut kurang, maka akan diberikan prioritas dana PMN guna mendukung pemenuhan target rasio elektrifikasi di wilayah tersebut. PT PLN Unit Distribusi Bali tahun 2020 mendapatkan PMN sebesar Rp9 miliar yang selanjutnya digunakan untuk memenuhi program elektrifikasi di pedesaan Bali yang belum terdistribusi listrik. Selain itu program elektrifikasi desa tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan pelanggan listrik dari segment rumah tangga di beberapa desa.

12 BUMN mendapat gelontoran stimulus pemulihan ekonomi di masa pandemi, kriteria distribusi lemah. Saat skema PEN untuk korporasi masih Rp53,57 triliun, ada 12 BUMN yang beruntung mendapat tambahan stimulus anggaran, meski laporan kinerja keuangannya ‘jeblok’, bahkan saat sebelum pandemi. Gelontoran stimulus pemulihan ekonomi bagi BUMN lemah dalam kriteria. Adapun ke-12 BUMN tersebut, antara lain: 1. PT. Hutama Karya (HK) untuk pembangunan jalan Tol Trans Sumatera; 2. PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) untuk pembiayaan kredit UMKM; 3. PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) untuk penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) dan UMKM; 4. PT Indonesia Tourism Development Coporation (ITCD) untuk pengembangan kawasan wisata Mandalika dan persiapan MotoGP 2021; 5. PT. Garuda Indonesia (GIA) karena adanya penurunan penumpang yang cukup signifikan selama pandemi COVID-19; 6. PT. KAI untuk dana modal operasional. 7. Perum Perumnas untuk modal kerja. 8. PT. Krakatau Steel (KS) sebagai dana relaksasi kepada industri hilir dan industri pengguna. 10. PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) senilai Rp4 triliun. Dana diberikan akibat penurunan harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan volume permintaan ekspor.

Studi (Akhmadi & Priastawa, 2021) menunjukkan program infrastruktur kelistrikan desa di Provinsi Bali telah mendorong tercapainya rasio elektrifikasi sebesar 100% berdasarkan skema investasi pemerintah dari PMN. Lebih lanjut, studi ini menemukan investasi pemerintah menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial. Manfaat ekonomi seperti mendapat dividen sebagai penerimaan negara dan mengurangi biaya operasional rumah tangga. Manfaat sosial seperti peningkatan kualitas hidup, peningkatan produktivitas, penambahan wawasan dan informasi, serta memperlancar pertumbuhan usaha kecil dan menengah di Provinsi Bali.

Sementara itu, (Hasan, Hartati, & Ayuni, 2021) menunjukkan dari 113 BUMN hanya 10 BUMN yang secara konsisten menyumbangkan laba kepada pendapatan negara. Dari 145 BUMN yang kemudian mengalami restrukturisasi hingga menjadi 113 BUMN, hanya terdapat sepuluh BUMN yang secara konsisten menjadi penyumbang laba (deviden) selama periode 2010-2019. Kesepuluh BUMN tersebut adalah: 1) Pertamina yang menyumbang deviden sebesar Rp81,61 triliun; 2) Telkom sebesar Rp52,31 triliun; 3) Bank BRI sebesar Rp41,91 triliun; 4) Bank Mandiri sebesar Rp33,59 triliun, 5) PLN sebesar Rp25,74 triliun; 6) PGN sebesar Rp15,98 triliun; 7) Bank BNI sebesar Rp 14,81 triliun; 8) Pupuk Indonesia sebesar Rp12,14 triliun; 9) Semen Indonesia sebesar Rp 6,79 triliun; dan 10) Mind ID sebesar Rp5,53 triliun (LKPP 2019)

Dari kesepuluh BUMN, hanya empat BUMN yang memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan negara. Keempat BUMN tersebut yaitu Pertamina, Telkom, Bank BRI, dan Bank Mandiri. Kontribusi empat BUMN tersebut dalam 10 tahun terakhir mencapai Rp209,43 triliun atau 72 persen dari total sumbangan 10 BUMN terbesar terhadap APBN sebesar Rp290,46 triliun, bahkan PT Freeport Indonesia ternyata hanya tiga kali masuk dalam daftar 10 BUMN yang memberikan kontribusi terhadap PNBP KND. Freeport Indonesia masuk pada 2010, 2011, dan 2017, dengan total setoran sebesar Rp4,66 triliun (Pemerintah memiliki 9,36 persen saham di Freeport sejak Kontrak Karya II tahun 1991) .

Selain kontribusi terhadap pendapatan negara yang tidak terlalu signifikan, BUMN juga menghadapi masalah korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sepanjang tahun 2015 hingga 2020 korupsi di instansi BUMN Indonesia mencapai 64 kasus. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada 2019 dengan 17 kasus. Tertinggi kedua terjadi pada tahun 2017 dan 2020, masing-masing sebanyak 13 kasus. Kasus yang masih hangat dan menjadi perbincangan publik di awal 2020 adalah mega skandal PT. Asuransi Jiwasraya Tbk (Persero). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara akibat penyelewengan keuangan perusahaan plat merah ini mencapai Rp17 triliun. Pada Juli 2020, KPK kembali menemukan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh PT. Waskita Karya (Persero) berupa subkontrak fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan perusahaan ini. Setidaknya ada 41 subkontrak fiktif pada 14 proyek selama 2009-2015 dengan estimasi merugikan negara hingga Rp202 milyar .

Banyak BUMN yang ‘rontok’ akibat pandemi COVID-19, khususnya BUMN yang bergerak di sektor energi, pariwisata, dan infrastruktur. COVID-19 jelas-jelas memberikan efek buruk di berbagai sektor, terutama sektor kesehatan, ekonomi – termasuk BUMN, dan sosial. BUMN yang masih menghadapi berbagai permasalahan sebagaimana ulasan sebelumnya, semakin terpuruk saat pandemi COVID-19 menerpa Indonesia pada awal Februari 2020. BUMN yang digadang-gadang menjadi pilar ekonomi nasional tak kuasa menahan laju kontraksi pendapatan perusahaan. Banyak BUMN yang mencatatkan keuntungan luar biasa pada 2019 – sebelum pandemi, di 2020 bahkan nyaris bangrut dengan merumahkan puluhan karyawan. BUMN yang mengalami keterpurukan akibat COVID-19 adalah BUMN yang bekerja pada sektor energi seperti PT. PLN dan PT. Pertamina, BUMN sektor pariwisata, seperti PT. Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dan hotel-hotel BUMN, serta BUMN yang bergerak pada infrastruktur transportasi seperti PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI), Jasa Marga, PT. Waskita Karya yang mengelola jalan tol.

Kebijakan

Kebijakan PSBB dan PPKM secara tidak langsung menjadi sebab merosotnya kinerja keuangan BUMN. Merespon tingginya penularan COVID-19 di tingkat masyarakat, pemerintah kemudian mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kebijakan ini terpaksa diambil di tengah dilema yang dihadapi oleh pemerintah untuk menyeimbangkan antara penanganan bidang kesehatan, pemulihan ekonomi dan potensi gejolak sosial akibat meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Dampak yang ditimbulkan ternyata tidak sesuai dengan prediksi. Tingkat keterpaparan harian COVID-19 di masyarakat bukannya menurun tapi justru bertambah, paling tidak hingga Februari 2021. Sementara itu, ‘kelas menengah’ Indonesia masih enggan membelanjakan uangnya di pasar, masih menahan untuk bepergian ke tempat wisata, dan lebih memilih work from home (WFH) dibanding pergi ke kantor. Secara tidak langsung, hal ini juga mempengaruhi memburuknya kinerja keuangan BUMN.

Dari aspek keuangan negara, pemerintah mengambil kebijakan realokasi dan refocusing anggaran guna menyelamatkan perekonomian nasional – termasuk keuangan BUMN. Kebijakan ini ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2020 yang mengatur kebijakan realokasi dan refocusing anggaran untuk penanganan COVID-19 dan stabilitas keuangan negara. Perppu ini pada akhirnya ditetapkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 setelah melalui pembahasan dengan DPR RI. Regulasi ini kemudian dibrackdown dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan/Keputusan Menteri (Permen/Kepmen) serta beberapa kebijakan lanjutan yang mengatur tentang mekanisme penganggaran untuk penanganan COVID-19 baik di tingkat pusat dan derah (provinsi, kabupaten, dan kota), bahkan sampai tingkat desa. Tak kurang dari 56 regulasi turunan UU No. 2 Tahun 2020 yang mengatur tentang realokasi dan refocusing anggaran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, mekanisme penggunaan dana transfer ke daerah, realokasi Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang salah satunya mengatur dana talangan untuk korporasi (BUMN).

Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam PEN meningkat signifikan di 2020 meski kinerja BUMN masih belum optimal. Penyertaan Modal Negara (PMN) adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya, dan dikelola secara korporasi .

Penyertaan Modal Negara (PMN) atau sering disebut dengan dana talangan pemerintah naik tajam di saat pandemi, di mana pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan penyertaan modal negara kepada sejumlah BUMN, angka tersebut cukup fantastis jika dibandingkan alokasi PMN pada tahun 2019, yaitu mengalami kenaikan 13,68 triliun, menjadi Rp31,48 triliun pada APBN Perubahan 2020, dan angka tersebut terus naik.

12 BUMN mendapat gelontoran stimulus pemulihan ekonomi di masa pandemi, kriteria distribusi lemah. Saat skema PEN untuk korporasi masih Rp53,57 triliun, ada 12 BUMN yang beruntung mendapat tambahan stimulus anggaran, meski laporan kinerja keuangannya ‘jeblok’, bahkan saat sebelum pandemi. Gelontoran stimulus pemulihan ekonomi bagi BUMN lemah dalam kriteria. Adapun ke-12 BUMN tersebut, antara lain: 1. PT. Hutama Karya (HK) untuk pembangunan jalan Tol Trans Sumatera; 2. PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) untuk pembiayaan kredit UMKM; 3. PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) untuk penjaminan kredit usaha rakyat (KUR) dan UMKM; 4. PT Indonesia Tourism Development Coporation (ITCD) untuk pengembangan kawasan wisata Mandalika dan persiapan MotoGP 2021; 5. PT. Garuda Indonesia (GIA) karena adanya penurunan penumpang yang cukup signifikan selama pandemi COVID-19; 6. PT. KAI untuk dana modal operasional. 7. Perum Perumnas untuk modal kerja. 8. PT. Krakatau Steel (KS) sebagai dana relaksasi kepada industri hilir dan industri pengguna. 10. PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) senilai Rp4 triliun. Dana diberikan akibat penurunan harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan volume permintaan ekspor

Alokasi dana PEN untuk korporasi terus meningkat – termasuk pendanaan SWF, di 2021 anggarannya mencapai Rp69,95 triliun, padahal minim evaluasi. Pada penetapan akhir anggaran PEN 2020, anggaran pembiayaan korporasi meningkat 16 persen dari Rp53,57 triliun menjadi Rp62,22 triliun. Alokasi anggaran ini ditujukan untuk memberikan suntikan tambahan modal bagi BUMN terutama PT. Bio Farma yang ditunjuk mengelola pengadaan vaksin, pemberian pinjaman (investasi), penjaminan kredit korporasi, dan pembiayaan Sovereign Wealth Fund (SWF). Penambahan anggaran untuk korporasi terlihat dipaksanakan karena belum dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap BUMN yang menerima anggaran PEN. Terlebih lagi, ada pembiayaan SWF atau Indonesia Investment Authority (INA) yang masih menjadi perdebatan, baik dari aspek kelembagaan, integritas pelaksananya, maupun roadmap pengembangan investasi di Indonesia.

Anggaran

Anggaran PEN untuk pembiayaan korporasi minim realisasi di awal pelaksanaan program, tapi sangat tinggi di akhir tahun 2020. Pada periode April hingga September realisasi anggaran pembiayaan koorporasi masih nol, realisasi baru terjadi per 26 Oktober 2020 sebesar Rp1 miliar dan Rp2 triliun pada 25 November 2020 . Serapan anggaran PEN untuk korporasi melonjak pada akhir tahun anggaran 2020 dimana realisasi mencapai Rp60,73 triliun atau 97,6 persen. Realisasi terbesar yaitu pada sub pos anggaran untuk penyertaan modal negara di 8 BUMN yang mencapai Rp39,07 triliun atau 64 persen terhadap total realisasi anggaran pembiayaan korporsi. Selain itu pemerintah juga turut memberikan pinjaman kepada BUMN sebesar Rp19,65 triliun atau 32 persen kepada 5 BUMN, meskipun sebagaimana diketahui bahwa PT. Garuda Indonesia dan Krakatau Steel memiliki kinerja keuangan yang buruk dan memiliki banyak utang. Serapan anggaran yang sangat tinggi di akhir tahun patut dipertanyakan efektivitasnya dan butuh audit BPK yang komperehensif.

Alih-alih untuk program padat karya, Penyertaan Modal Negara (PMN) dikala pandemi masih fokus pada BUMN sektor infrastruktur yang padat modal. Penyertaan modal negara (PMN) terbesar diberikan kepada PT. Hutama Karya sebesar Rp7,5 triliun untuk melaksanakan program pembangunan jalan, khususnya digunakan untuk menyelesaikan pembangunan ruas jalan tol. PNM kepada PT. Hutama Karya sangat besar dibandingkan dengan PNM kepada Bio Farma yang digunakan membantu pengembangan vaksin COVID-19, dimana PT. Bio farma hanya menerima PNM sebesar Rp2 triliun. Jika pemberian PNM kepada Hutama Karya didasarkan untuk melanjutkan program jalan tol Trans Sumatera dan dikatakan sebagai program padat karya, maka hal tersebut sangat tidak tepat, mengingat pembangunan jalan tol lebih kepada program padat modal yang menggunakan alat-alat berat lebih banyak, dibandingkan tenaga manusia.

BUMN

BUMN yang menjadi lahan bancakan bagi pembagian kursi politik. Dari sisi integritas dan kepentingan politik, BUMN menjadi tempat empuk bagi-bagi kursi komisaris. Sebanyak 397 orang penyelenggara negara terindikasi merangkap jabatan komisaris di BUMN dan 167 orang di anak perusahaan BUMN pada 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 254 atau 64 persen adalah pejabat kementerian, sebanyak 112 orang atau 28 persen adalah pejabat lembaga non-kementerian, dan sebanyak 31 orang atau delapan persen adalah pejabat dari perguruan tinggi. BUMN sebagai bancakan menjadi salah satu faktor lemahnya BUMN di dalam implementasi rencana bisnisnya, serta BUMN menjadi riskan terhadap kepentingan politik dan lahan ‘sapi perah’ bagi kelompok tertentu.

Peningkatan anggaran PEN untuk korporasi (BUMN) di tahun 2021 perlu transparansi dan kontrol lebih ketat, baik oleh pemerintah sendiri, lembaga penegak hukum, maupun oleh masyarakat. Untuk itu, transparansi proses penetapan anggaran dan implementasi anggaran PEN bagi BUMN menjadi hal yang mutlak. Transparansi bisa dimulai dari publikasi hasil audit penggunaan anggaran PEN bagi BUMN tahun 2020, sehingga diketahui efektivitas atau inefektivitas penggunaan, besaran serapan, maupun potensi penyimpangan anggaran. Kontrol atau pengawasan oleh pemerintah dan penegak hukum mustinya dilakukan lebih melekat, mulai dari proses, implementasi hingga pertanggungjawaban akhir penggunaan anggaran. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat bisa dilakukan secara kolektif dan dilaporkan ke platform pengaduan yang ada di pemerintah (LAPOR!) maupun yang dikelola oleh KPK (JAGA KPK).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *